Aku Tetap Jatuh Cinta di Tahun Pertama
(Bagian Pertama)
(Bagian Pertama)
Aku lanjutkan ceritaku. Beberapa teman sempat bertanya bagaimana rasanya pacaran dengan dia. Aku jawab biasa saja. Menurutku pacaran dimana-mana ya sama saja. Cuma bedanya, dia selalu bisa buat aku jatuh cinta setiap kali bertemu. Nggak, dia nggak seganteng itu. Dia juga nggak sehumoris itu, tapi memang ahli buat aku ketawa sih. Dia juga nggak seromantis itu. Oh ya, ngomong - ngomong soal romantis, dia pernah memberikan aku bunga matahari 2 kali. Saat ulang tahunku (ini sebelum kami berpacaran) dan saat peringatan 2 bulan hari jadian kami. Keduanya sama-sama bikin kaget. Dan, yang sampai saat ini dia tidak tahu, kedua bunga itu masih aku simpan. Tidak pernah aku utak-atik dari kertas pembungkusnya, sekering apapun dia. Jadi, sampai tahun ini bunga - bunga itu sudah hampir 4 tahun bersemayam rapi di kardus yang aku taruh di atas lemari di kamarku. Aku suka menyimpan barang - barang apapun dari dia. Rasanya senang jika rindu dan melihat barang - barang itu membuatku senyum - senyum sendiri.
Kisahku dengannya tidaklah selalu mulus.Ada saja beberapa teman yang meragukan hubungan yang kami bangun.
"Yakin bisa lama sama dia?"
"Kenapa nanya gitu?"
"Yah,aku ngerasa kamu nggak cocok sama dia."
"Terus?"
"Kamu lebih cocok sama mantanmu."
"Ahh,kalau aku cocok sama mantanku,aku nggak mungkin putus sama dia."
"Kalau kamu bisa bertahan sampai kelas XII aja sama dia,itu artinya.."
"Apa?"
"Dia cocok."
"Yah gatau ya. Lihat nanti aja."
Kebanyakan yang berkomentar demikian adalah teman - temanku yang memang pernah mengetahui hubunganku dengan mantanku. Saat itu aku sama sekali tidak pernah memberitahukan hal itu kepada pacarku. Itu aku lakukan demi kenyamanan bersama. Aku tahu dia sosok yang dewasa tapi aku berpikir memang lebih baik jika dia tidak tahu. Dia selalu mengajarkanku untuk menceritakan apapun yang terjadi baik padaku ataupun pada hubungan kami,sekecil apapun itu. Namun, aku punya prinsip. Jika aku masih bisa mengatasinya sendiri,aku tidak akan merepotkannya.
Melanjutkan kisah tentang mantanku,kami memang sangat tidak cocok. Dia kurang menantang. Aku tidak suka dengan sosok lelaki yang sangat tunduk dengan pacarnya,selalu mematuhi apapun perintah pacarnya, seolah aku bisa seenaknya memperlakukan dia. Bukan berarti mantanku tidak pernah berbuat baik padaku ya, malahan dia sangat dan terlalu baik (ini bukan alasan klasik,ini serius). Karena aku masih menghargainya lah, aku memilih lebih baik kita berpisah.Aku tidak ingin terus membohongi perasaannya dengan ketidaknyamananku.Mungkin bagi sebagian orang hal ini sangatlah menguntungkan. Siapa sih yang tidak ingin memiliki hubungan yang selalu mulus tanpa masalah? Siapa sih yang tidak ingin punya pacar yang setiap saat memberikan coklat dan bunga mawar atau dalam kasusku lebih sering diberikan novel-novel best seller. Dulu, banyak teman yang ingin berada diposisiku, selalu memuji perlakuan mantanku.Aku tahu dulu dia sangat menyanyangiku,tapi sayang sekali,rasa itu padaku semakin hari malah memudar dan akhirnya menghilang. Aku tidak suka diperlakukan sebagai anak yang manja. Aku tidak suka diperlakukan terlalu manis seperti itu, aku tidak suka orang lain menganggapku seolah aku ini manusia yang sangat sempurna. Aku tidak suka,sangat tidak suka. Aku ingin mencari sosok lelaki yang tidak selalu memohon padaku setiap detik, aku ingin aku punya kehidupan yang tidak palsu saat berpacaran. Sudahlah,aku tutup ceritanya sampai disini.Ini tentang "dia"ku bukan mantanku.
"Kamu kok nggak pernah cemburu?"
"Buat apa?"
"Ya aku ingin tahu kalau kamu cemburu itu kayak gimana."
"Jangan,serem."
"Nah,makin penasaran aku."
"Jangan."
Dia bertanya padaku pada suatu saat.Aku bukannya tidak pernah cemburu. Aku selalu cemburu hanya saja aku tidak pernah memberitahunya. Buat apa juga aku memberitahu hal-hal yang berkesempatan merusak hubungan yang baik ini? Dan seperti yang aku katakan, selama aku bisa mengatasinya sendiri, aku tidak akan merepotkannya.
Tapi,ada suatu masa dimana aku sama sekali tidak bisa mengontrol emosi dan rasa cemburuku. Tidak, dia tidak pernah menggoda wanita lain apalagi selingkuh. Masalahnya tidak akan aku beritahu karena ini benar-benar kebodohanku dan aku akan sangat malu jika dibahas kembali.
Saat itu bulan Januari 2016,seminggu setelah dia kecelakaan dan jari-jari tangan kirinya patah. Aku tidak mengerti mengapa dia sangat hobi kebut-kebutan di jalan.Berkali-kali aku memberitahunya untuk jangan membiasakan diri dengan hal-hal yang membuatnya celaka,tapi jawabannya selalu sama.
"Biar apa sih kebut-kebutan di jalan? Rumah sama sekolahmu nggak akan lari."
"Biar masalahnya hilang."
"Kan kamu bisa cerita ke aku atau ke temen-temen kamu.Nggak harus kebut-kebutan di jalan."
"Tetap nggak tenang,harus ngebut dulu di jalan biar tenang terus masalahnya hilang."
"Iya.Lama -lama nafasmu juga ikutan hilang."
"Kok gitu?"
"Keburu tewas daripada waras."
Begitulah dia. Selalu melampiaskan masalahnya dengan kebut-kebutan di jalan. Entah, sudah berapa kali tubuhnya terguling dan bibirnya mencium aspal,anak nakal.
"Mau kemana?sudah jam 10 malam."
"Kabur ke jalan."
"Ngebut lagi?"
"Iya."
"Kemana?"
"Nggak tahu,yang penting ke jalan."
"Bahaya.Jangan pergi"
"Harus pergi mau buang masalahnya ke jalan."
"Masalahnya itu akan selalu ada di pikiran kamu. Bukan diboncengan kamu."
"Aku pergi dulu."
Selepas itu chatku tidak dibalas lagi. Aku menunggunya sampai ketiduran. Hampir setiap ada masalah dia selalu sulit dipisahkan dengan kebut-kebutan. Ah? Trek-trekan?Bukan. Dia hanya keluar ke jalan raya dan ngebut sendirian sampai masalahnya jatuh ke aspal,yah meskipun terkadang dia juga ikutan jatuh. Tapi, setelah dia datang dari jalanan,dia pasti selalu cerita tentang bagaimana dia di jalan dan hal-hal unik apa yang dia temukan di jalan.Yah,meskipun nyeritainnya dengan nuansa bete tapi itulah sisi menggemaskannya. Kalian mau tahu cerita-ceritanya? Ada banyak, tapi cerita yang paling aku ingat adalah...
"Kemarin aku nyasar."
"Nyasar kemana?"
"Kalau tahu nama jalannya,itu bukan nyasar namanya."
"Oh iya haha."
"Iya jadi aku nyasar jauh."
"Terus?"
"Bensinku habis."
"Yah beli dong."
"Itu masalahnya."
"Kenapa?"
"Dompetku nggak ada isinya."
"Terus gimana?"
"Aku capek dorong motor."
"Ah?sampai dorong motor?"
"Iya.Kan bensinnya habis."
"Oh iya...terus?"
"Aku lihat ada dagang bakso dipinggir jalan."
"Lalu?"
"Aku samperin."
"Kan kamu nggak bawa uang."
"Ye,siapa yang mau beli? Belum selesai."
"Oke..terus?"
"Aku tanyain ibu yang jualan baksonya."
"Nanya apa?"
"Bu,boleh saya bantuin nyuci mangkoknya? Bensin saya habis,saya nggak bawa uang."
"Serius?"
"Sumpah deh."
"Ibuknya gimana?"
"Ngasi kerjaan.Habis itu dikasih uang sepuluh ribu."
"Wahh."
"Bisa pulang deh."
"Lucu tapi capek."
"Iyaa haha."
Meskipun aku sering cemas karena dia selalu kebut-kebutan di jalan,tapi aku akan selalu bersyukur.Setidaknya dia selalu meminta ijin untuk keluar meskipun selalu sulit dicegah.
Oh ya, melanjutkan cerita tentang bagaimana aku bisa cemburu....
"Maafin aku. Aku nggak sengaja ngomong gitu."
Beribu-ribu maaf rasanya dia bilang padaku.Tapi aku selalu membisu. Aku merapikan buku-bukuku dan bergegas pulang ke rumah. Saat itu aku tidak tahu dia pulang dengan siapa karena tangannya beum bisa mengendarai sepeda motor. Biasanya aku akan menanyakan dia akan pulang dengan siapa dan sesekali menemaninya menunggu.Pokoknya saat itu aku sama sekali tidak peduli dengannya, jahat banget.
Sampai di rumah, banyak pesan LINE yang masuk. Tapi aku tetap bisu. Kemudian telepon masuk silih berganti berusaha menyadarkanku,tapi aku tetap tidak peduli. Tapi,sekitar jam setengah 8 malam...
"Dicariin sama temenmu."
"Hah?siapa?"
"Samperin aja dulu."
Kagetku bukan main melihat dia di depanku. Aku bingung. Takut Ayahku marah jika tahu kalau ada laki-laki yang datang ke rumah untuk mencariku. Jangan sampai Ayahku tahu kalau dia adalah pacarku. Ayahku galak.
"Kamu ngapain kesini?" Aku berbisik padanya.
"Mau minta maaf sama kamu."
"Kan bisa lewat chat."
"Kamu nggak bales chat sama teleponku."
Sumpah.Aku benar-benar menyesali perbuatanku.
"Kamu kesini sama siapa?"
"Sendiri."
"Tapi kan,tangan kamu..."
"Aku nggak bawa motor. Aku jalan kaki."
Aku semakin kaget mendengarnya. Jarak rumahku dan rumahnya sangatlah jauh. Setara dengan jarak rumahku ke sekolah. 30 sampai 40 menit jika mengendarai motor. Tapi dia? Jalan kaki!
Tidak berapa lama,Ayahku datang. Aku ingin mati saja saat itu. Wajahku benar-benar pucat.
"Halo. Ada tamu ya?"
"I..ya..."
Kemudian,hanya Ayahku dan dia yang mengobrol. Sesekali Ibuku ikut nimbrug. Aku? pucat pasi.
"Lain kali jangan nekat lagi ya. Kasian kamu."
Dia hanya mengangguk. Aku tahu kakinya pasti pegal dan sakit.
"Om anterin pulang ya?sudah malam."
Sumpahhhh, aku nggak mau. Aku sibuk menelepon teman-teman cowokku agar menjemputnya ke rumahku. Tidak ada yang bisa. Aku mulai putus asa. Sampai akhirnya seorang teman bersedia menjemput. Aku sangat berterimakasih kepada Adhi saat itu.
Akhirnya Ayahku tidak jadi mengantarnya pulang. Fiuh!
"Pakai jaketku,rumahmu jauh."
"Makasih. Aku pamit."
"Hati-hati."
Semoga jaket yang girly itu tidak menjadi tanda tanya saat dia sampai di rumahnya.
Ketika dia dan Adhi sudah pulang,aku bersiap-bersiap menebalkan kupingku jika tiba-tiba Ayahku marah. Tapi ternyata aku salah,Ayahku tidak marah dan malah menyuruhku untuk segera tidur.Aku tenang untuk malam itu.
Keesokan harinya di sekolah,hubungan kami seperti semula lagi,kembali membaik.
"Gimana?Pegel nggak?"
"Banget.Kakiku sakit."
"Hm salah sendiri sih,siapa suruh nekat."
"Kalau nggak nekat,kamunya nggak mau maafin aku."
"Padahal mau dimaafin,tapi jam 9 malam."
"Kenapa?"
"Biar lama aja hehe."
"Dasar."
"Coba lihat kakimu."
Ya, luka di lututnya belum sembuh. Dan aku tahu itu menjadi semakin sakit setelah berjalan lama dan jauh.
"Perban yang kemarin aku kasi udah habis ya?"
"Iya.Itu untuk ditangan juga."
"Yaudah besok aku bawain lagi."
"Makasih banyak."
"Pet sembuh."
Pulang dari sekolah, Ayah memarahiku atas kejadian kemarin. Aku paham dan mengerti.Tapi bagaimana? Semuanya sudah terjadi bukan? Untuk apa dipermasalahkan lagi. Inilah yang sama sekali tidak aku katakan padanya. Bahkan sampai saat ini. Aku tidak akan banyak membahas bagian ini.Karena akan menyakitiku dan juga dirinya. Alasan kenapa aku tidak memberitahunya masih sama. Selama aku bisa mengatasinya sendiri,aku tidak akan merepotkannya. Karena aku sayang dia dan tidak ingin membebaninya dengan banyak masalah.
"Yakin bisa lama sama dia?"
"Kenapa nanya gitu?"
"Yah,aku ngerasa kamu nggak cocok sama dia."
"Terus?"
"Kamu lebih cocok sama mantanmu."
"Ahh,kalau aku cocok sama mantanku,aku nggak mungkin putus sama dia."
"Kalau kamu bisa bertahan sampai kelas XII aja sama dia,itu artinya.."
"Apa?"
"Dia cocok."
"Yah gatau ya. Lihat nanti aja."
Kebanyakan yang berkomentar demikian adalah teman - temanku yang memang pernah mengetahui hubunganku dengan mantanku. Saat itu aku sama sekali tidak pernah memberitahukan hal itu kepada pacarku. Itu aku lakukan demi kenyamanan bersama. Aku tahu dia sosok yang dewasa tapi aku berpikir memang lebih baik jika dia tidak tahu. Dia selalu mengajarkanku untuk menceritakan apapun yang terjadi baik padaku ataupun pada hubungan kami,sekecil apapun itu. Namun, aku punya prinsip. Jika aku masih bisa mengatasinya sendiri,aku tidak akan merepotkannya.
Melanjutkan kisah tentang mantanku,kami memang sangat tidak cocok. Dia kurang menantang. Aku tidak suka dengan sosok lelaki yang sangat tunduk dengan pacarnya,selalu mematuhi apapun perintah pacarnya, seolah aku bisa seenaknya memperlakukan dia. Bukan berarti mantanku tidak pernah berbuat baik padaku ya, malahan dia sangat dan terlalu baik (ini bukan alasan klasik,ini serius). Karena aku masih menghargainya lah, aku memilih lebih baik kita berpisah.Aku tidak ingin terus membohongi perasaannya dengan ketidaknyamananku.Mungkin bagi sebagian orang hal ini sangatlah menguntungkan. Siapa sih yang tidak ingin memiliki hubungan yang selalu mulus tanpa masalah? Siapa sih yang tidak ingin punya pacar yang setiap saat memberikan coklat dan bunga mawar atau dalam kasusku lebih sering diberikan novel-novel best seller. Dulu, banyak teman yang ingin berada diposisiku, selalu memuji perlakuan mantanku.Aku tahu dulu dia sangat menyanyangiku,tapi sayang sekali,rasa itu padaku semakin hari malah memudar dan akhirnya menghilang. Aku tidak suka diperlakukan sebagai anak yang manja. Aku tidak suka diperlakukan terlalu manis seperti itu, aku tidak suka orang lain menganggapku seolah aku ini manusia yang sangat sempurna. Aku tidak suka,sangat tidak suka. Aku ingin mencari sosok lelaki yang tidak selalu memohon padaku setiap detik, aku ingin aku punya kehidupan yang tidak palsu saat berpacaran. Sudahlah,aku tutup ceritanya sampai disini.Ini tentang "dia"ku bukan mantanku.
"Kamu kok nggak pernah cemburu?"
"Buat apa?"
"Ya aku ingin tahu kalau kamu cemburu itu kayak gimana."
"Jangan,serem."
"Nah,makin penasaran aku."
"Jangan."
Dia bertanya padaku pada suatu saat.Aku bukannya tidak pernah cemburu. Aku selalu cemburu hanya saja aku tidak pernah memberitahunya. Buat apa juga aku memberitahu hal-hal yang berkesempatan merusak hubungan yang baik ini? Dan seperti yang aku katakan, selama aku bisa mengatasinya sendiri, aku tidak akan merepotkannya.
Tapi,ada suatu masa dimana aku sama sekali tidak bisa mengontrol emosi dan rasa cemburuku. Tidak, dia tidak pernah menggoda wanita lain apalagi selingkuh. Masalahnya tidak akan aku beritahu karena ini benar-benar kebodohanku dan aku akan sangat malu jika dibahas kembali.
Saat itu bulan Januari 2016,seminggu setelah dia kecelakaan dan jari-jari tangan kirinya patah. Aku tidak mengerti mengapa dia sangat hobi kebut-kebutan di jalan.Berkali-kali aku memberitahunya untuk jangan membiasakan diri dengan hal-hal yang membuatnya celaka,tapi jawabannya selalu sama.
"Biar apa sih kebut-kebutan di jalan? Rumah sama sekolahmu nggak akan lari."
"Biar masalahnya hilang."
"Kan kamu bisa cerita ke aku atau ke temen-temen kamu.Nggak harus kebut-kebutan di jalan."
"Tetap nggak tenang,harus ngebut dulu di jalan biar tenang terus masalahnya hilang."
"Iya.Lama -lama nafasmu juga ikutan hilang."
"Kok gitu?"
"Keburu tewas daripada waras."
Begitulah dia. Selalu melampiaskan masalahnya dengan kebut-kebutan di jalan. Entah, sudah berapa kali tubuhnya terguling dan bibirnya mencium aspal,anak nakal.
"Mau kemana?sudah jam 10 malam."
"Kabur ke jalan."
"Ngebut lagi?"
"Iya."
"Kemana?"
"Nggak tahu,yang penting ke jalan."
"Bahaya.Jangan pergi"
"Harus pergi mau buang masalahnya ke jalan."
"Masalahnya itu akan selalu ada di pikiran kamu. Bukan diboncengan kamu."
"Aku pergi dulu."
Selepas itu chatku tidak dibalas lagi. Aku menunggunya sampai ketiduran. Hampir setiap ada masalah dia selalu sulit dipisahkan dengan kebut-kebutan. Ah? Trek-trekan?Bukan. Dia hanya keluar ke jalan raya dan ngebut sendirian sampai masalahnya jatuh ke aspal,yah meskipun terkadang dia juga ikutan jatuh. Tapi, setelah dia datang dari jalanan,dia pasti selalu cerita tentang bagaimana dia di jalan dan hal-hal unik apa yang dia temukan di jalan.Yah,meskipun nyeritainnya dengan nuansa bete tapi itulah sisi menggemaskannya. Kalian mau tahu cerita-ceritanya? Ada banyak, tapi cerita yang paling aku ingat adalah...
"Kemarin aku nyasar."
"Nyasar kemana?"
"Kalau tahu nama jalannya,itu bukan nyasar namanya."
"Oh iya haha."
"Iya jadi aku nyasar jauh."
"Terus?"
"Bensinku habis."
"Yah beli dong."
"Itu masalahnya."
"Kenapa?"
"Dompetku nggak ada isinya."
"Terus gimana?"
"Aku capek dorong motor."
"Ah?sampai dorong motor?"
"Iya.Kan bensinnya habis."
"Oh iya...terus?"
"Aku lihat ada dagang bakso dipinggir jalan."
"Lalu?"
"Aku samperin."
"Kan kamu nggak bawa uang."
"Ye,siapa yang mau beli? Belum selesai."
"Oke..terus?"
"Aku tanyain ibu yang jualan baksonya."
"Nanya apa?"
"Bu,boleh saya bantuin nyuci mangkoknya? Bensin saya habis,saya nggak bawa uang."
"Serius?"
"Sumpah deh."
"Ibuknya gimana?"
"Ngasi kerjaan.Habis itu dikasih uang sepuluh ribu."
"Wahh."
"Bisa pulang deh."
"Lucu tapi capek."
"Iyaa haha."
Meskipun aku sering cemas karena dia selalu kebut-kebutan di jalan,tapi aku akan selalu bersyukur.Setidaknya dia selalu meminta ijin untuk keluar meskipun selalu sulit dicegah.
Oh ya, melanjutkan cerita tentang bagaimana aku bisa cemburu....
"Maafin aku. Aku nggak sengaja ngomong gitu."
Beribu-ribu maaf rasanya dia bilang padaku.Tapi aku selalu membisu. Aku merapikan buku-bukuku dan bergegas pulang ke rumah. Saat itu aku tidak tahu dia pulang dengan siapa karena tangannya beum bisa mengendarai sepeda motor. Biasanya aku akan menanyakan dia akan pulang dengan siapa dan sesekali menemaninya menunggu.Pokoknya saat itu aku sama sekali tidak peduli dengannya, jahat banget.
Sampai di rumah, banyak pesan LINE yang masuk. Tapi aku tetap bisu. Kemudian telepon masuk silih berganti berusaha menyadarkanku,tapi aku tetap tidak peduli. Tapi,sekitar jam setengah 8 malam...
"Dicariin sama temenmu."
"Hah?siapa?"
"Samperin aja dulu."
Kagetku bukan main melihat dia di depanku. Aku bingung. Takut Ayahku marah jika tahu kalau ada laki-laki yang datang ke rumah untuk mencariku. Jangan sampai Ayahku tahu kalau dia adalah pacarku. Ayahku galak.
"Kamu ngapain kesini?" Aku berbisik padanya.
"Mau minta maaf sama kamu."
"Kan bisa lewat chat."
"Kamu nggak bales chat sama teleponku."
Sumpah.Aku benar-benar menyesali perbuatanku.
"Kamu kesini sama siapa?"
"Sendiri."
"Tapi kan,tangan kamu..."
"Aku nggak bawa motor. Aku jalan kaki."
Aku semakin kaget mendengarnya. Jarak rumahku dan rumahnya sangatlah jauh. Setara dengan jarak rumahku ke sekolah. 30 sampai 40 menit jika mengendarai motor. Tapi dia? Jalan kaki!
Tidak berapa lama,Ayahku datang. Aku ingin mati saja saat itu. Wajahku benar-benar pucat.
"Halo. Ada tamu ya?"
"I..ya..."
Kemudian,hanya Ayahku dan dia yang mengobrol. Sesekali Ibuku ikut nimbrug. Aku? pucat pasi.
"Lain kali jangan nekat lagi ya. Kasian kamu."
Dia hanya mengangguk. Aku tahu kakinya pasti pegal dan sakit.
"Om anterin pulang ya?sudah malam."
Sumpahhhh, aku nggak mau. Aku sibuk menelepon teman-teman cowokku agar menjemputnya ke rumahku. Tidak ada yang bisa. Aku mulai putus asa. Sampai akhirnya seorang teman bersedia menjemput. Aku sangat berterimakasih kepada Adhi saat itu.
Akhirnya Ayahku tidak jadi mengantarnya pulang. Fiuh!
"Pakai jaketku,rumahmu jauh."
"Makasih. Aku pamit."
"Hati-hati."
Semoga jaket yang girly itu tidak menjadi tanda tanya saat dia sampai di rumahnya.
Ketika dia dan Adhi sudah pulang,aku bersiap-bersiap menebalkan kupingku jika tiba-tiba Ayahku marah. Tapi ternyata aku salah,Ayahku tidak marah dan malah menyuruhku untuk segera tidur.Aku tenang untuk malam itu.
Keesokan harinya di sekolah,hubungan kami seperti semula lagi,kembali membaik.
"Gimana?Pegel nggak?"
"Banget.Kakiku sakit."
"Hm salah sendiri sih,siapa suruh nekat."
"Kalau nggak nekat,kamunya nggak mau maafin aku."
"Padahal mau dimaafin,tapi jam 9 malam."
"Kenapa?"
"Biar lama aja hehe."
"Dasar."
"Coba lihat kakimu."
Ya, luka di lututnya belum sembuh. Dan aku tahu itu menjadi semakin sakit setelah berjalan lama dan jauh.
"Perban yang kemarin aku kasi udah habis ya?"
"Iya.Itu untuk ditangan juga."
"Yaudah besok aku bawain lagi."
"Makasih banyak."
"Pet sembuh."
Pulang dari sekolah, Ayah memarahiku atas kejadian kemarin. Aku paham dan mengerti.Tapi bagaimana? Semuanya sudah terjadi bukan? Untuk apa dipermasalahkan lagi. Inilah yang sama sekali tidak aku katakan padanya. Bahkan sampai saat ini. Aku tidak akan banyak membahas bagian ini.Karena akan menyakitiku dan juga dirinya. Alasan kenapa aku tidak memberitahunya masih sama. Selama aku bisa mengatasinya sendiri,aku tidak akan merepotkannya. Karena aku sayang dia dan tidak ingin membebaninya dengan banyak masalah.
Komentar
Posting Komentar